Kontroversi mewarnai amandemen konstitusi. Tak terkecuali di tubuh PDI Perjuangan. Pro kontra menyeruak: satu kelompok mendesak jalan terus amandemen tahap keempat, kelompok lain di PDIP menolak. Yang mengemuka soal pemilihan presiden langsung, kendati itu sudah disetujui pada amandemen tahap ketiga di Sidang Tahunan MPR tahun 2001.
Baru-baru ini, Presiden Megawati memperingatkan bahwa rakyat tidak siap dengan sistem itu Sekjen DPP PDIP Soetjipto menjelaskan, pernyataan presiden itu sebagai kekhawatiran terjadinya konflik horisontal. Apa yang terjadi dengan PDIP? Kenapa berubah? Berikut wawancara Wahyu Dyatmika dengan Aberson Marle Sihaloho, anggota DPR/MPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
Aberson adalah politisi senior. Tumbuh menjadi kader Partai Nasional Indonesia, yang didirikan Soekarno pada 1920-an, Aberson melanjutkan karir poltiknya di Partai Demokrasi Indonesia, setelah PNI dilebur dengan partai politik lain di era Orde Baru. Saat rezim Orde Baru memotori DPP PDI tandingan pimpinan Soerjadi, lewat kongres di Medan, Mei 1996, Aberson setia pada Megawati. Ia sempat ditahan dan diadili akibat kerusuhan 27 Juli 1996. Kini, Aberson lebih banyak berkecimpung di parlemen.
Proses amandemen masih alot, juga memicu kontroversi. Di jajaran PDI Perjuangan juga terjadi pertentangan tajam. Apa pendapat Anda?
Program utama pemerintahan Megawati saat ini adalah mengantar bangsa ini menuju Pemilu 2004. Di sinilah kendala pemerintah. Ini terkait keputusan pemilihan langsung. Kalau pemerintah tidak menerima pemilihan langsung –seperti sudah diketok MPR dalam pasal 6A ayat 1 UUD 45— maka akan terjadi instabilitas politik serius. Beberapa kelompok juga sudah ramai bersuara untuk membatalkan saja proses amandemen.
Suara-suara di PDIP?
Sesuai keputusan kongres tahun 2000 di Semarang, PDIP menolak model pemilihan langsung. Tetapi, apa yang terjadi? Pasal ini malah gol dalam Sidang Tahunan MPR setahun silam. Pasal itu berbunyi "Presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dipilih langsung oleh rakyat." Inilah yang mau dibatalkan itu. Jadi ribut-ribut menentang amandemen, sebenarnya bermuara ke pasal ini. Inilah yang mereka incar. Menurut saya, PDIP sudah teledor. Kalau sikap resmi partai menolak, kenapa bisa lolos? PDIP –mau tidak mau— harus menyesuaikan dengan hasil amandemen konstitusi. Toh amandemen ini telah disetujui PDIP. Tarik menarik ini sangat mungkin menimbulkan instabilitas politik. Kredibilitas partai juga bisa jatuh.
Keputusan Kongres PDIP bisa disesuaikan begitu saja?
Seharusnya bisa. Bagaimanapun, keputusan tertinggi di tangan MPR.
Bisa dikatakan, PDIP kecolongan?
Tidak! Amandemen ketiga diputuskan MPR secara aklamasi. Saya secara pribadi setuju keputusan itu, maka saya diam saja, meski bertentangan dengan keputusan partai. Kalau sekarang ada upaya membatalkan, maka semakin besar potensi instabilitas itu.
Anda punya prediksi terburuk?
Saya memperkirakan dalam Sidang Tahunan MPR, Agustus mendatang, akan ada eskalasi instabilitas politik nasional.
Bagaimana bisa terjadi Fraksi PDIP tidak mengamankan hasil kongres?
Sebenarnya, mayoritas anggota PDIP di MPR setuju pemilihan langsung meski secara formal PDIP menolak. Kenapa bagitu? Karena keputusan kongres bisa direkayasa. Tapi kalau keputusan individu sesuai hati nurani, susah direkayasa.
Apa kebijakan PDIP untuk mengatasi kesenjangan itu?
Ah…itu urusan DPP PDIP sajalah. Urusan para pemimpin itulah. Saya tak mau ikut. Tapi, memang terjadi kesenjangan. Penyebabnya, proses pengambilan keputusan di kongres, tidak demokratis. Seingat saya, saat itu ada 174 cabang yang menginginkan pemilihan presiden langsung. Bahkan sekarang juga. Kalau mau referendum –meski menurut saya tidak perlu— coba rakyat ditanya: mau pemilihan langsung atau tidak? Saya jamin mayoritas rakyat menghendaki pemilihan langsung.
Mungkinkah mengubah hasil amandemen untuk pasal pemilihan ptresiden itu, misal lewat gerakan politik ekstra-parlementer?
Ini kan sudah ketok palu! Pasal 6A ayat 1 kan sudah diputuskan. Kalau hasil amandemen dipermasalahkan lagi, aneh kan? Padahal kemarin, tidak ada satu fraksi pun yang menentang. Karena memang, semua anggota MPR setuju pemilihan langsung. Amandemen MPR sudah sesuai aspirasi rakyat! Yang jadi masalah kan karena ini mau dibatalkan lagi! Dituduh kebablasanlah, apalah! Beri tahu rakyat: kebabalasannya dimana? Suara rakyat yang diwakili lembaga, sekarang dikembalikan lagi pada rakyat, bisa disebut kebablasan?
Mengapa sejumlah suara di PDIP menolak?
Sederhana. Mereka takut tidak terpilih! Itu saja. Karena kalau pemilihan langsung, ini sudah masalah orang per orang, bukan lagi masalah partai. Jangan salah! Ndhak bisa lagi main rekayasa.
Amandemen ketiga juga sudah mengatur pemilu 2004 tidak lagi memilih tanda gambar parpol, melainkan nama calon anggota parlemen?
Inilah yang mau dibuyarkan! Pemilu 2004, masyarakat memang akan menusuk tanda nama orang yang tertera pada tanda gambar partai. Ini ndhak bisa direkayasa. Jadi kalau partai tidak mengajukan nama-nama calon wakil rakyat yang kredibel dan laku dijual, pasti akan kalah.
Pendapat Anda soal hak pilih untuk tentara dan polisi?
Kita sudah lama terjebak dalam paradigma keliru. Saya tegaskan, tidak ada tentara dan polisi yang bukan warga negara! Tidak ada hubungan antara dia sebagai tentara, atau apapun profesinya, dengan hak dia sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Kalau pun dia dipilih, dia harus berhenti jadi tentara.
Ada ketakutan TNI akan balik ke panggung politik?
Justru d isitulah yang keliru! Tentara itu kan institusi, apa urusannya? Ini hak warga negara kok! Bukan hak institusi.
Kalau itu dipakai elit militer sebagai pintu masuk menguasai politik?
Bagaimana bisa jadi pintu masuk, wong kalau jadi calon legislatif, dia harus berhenti! Malah saya mengusulkan –sebagai bukti dia benar-benar seorang warga negara yang setia pada negaranya— setiap calon harus membayar pajak dulu.
Anda tidak takut jajaran TNI dan Polri terpecah-pecah dalam garis ideologi akibat perbedaan aspirasi politik?
Saya tidak pernah takut! Hanya orang yang nggak ngerti persoalan saja yang merasa takut! Wong bukan tentaranya kok yang ikut memilih! Sama dengan pegawai negeri sipil.
Kembali ke soal pemilihan presiden langsung. Ada kekhawatiran terjadi konflik horizonta. Pendapat Anda?
Konflik tidak akan terjadi. Itu kan terjadi ketika dulu para tentara dan polisi masih diberi jatah-jatah wilayah. Tapi sekarang, yang berdaulat itu rakyat!
Perubahan apa yang Anda bayangkan setelah Pemilu langsung?
Seperti Mbak Mega, misal dipilih 35,7 juta rakyat. Dia sudah jadi superwoman. Juga, anggota DPR dipilih langsung oleh 300-400 ribu orang. Kita pun bukan orang sembarangan. Itu sebabnya anggota parlemen dihormati, disebut honourable member of parliament.
Menurut Anda, siapa saja yang menentang amandemen?
Antara lain PPP. Pokoknya semua yang membawa-bawa nama rakyat, yang selama ini menikmati sistem, akan menentang amandemen.
Baru-baru ini, Presiden Megawati memperingatkan bahwa rakyat tidak siap dengan sistem itu Sekjen DPP PDIP Soetjipto menjelaskan, pernyataan presiden itu sebagai kekhawatiran terjadinya konflik horisontal. Apa yang terjadi dengan PDIP? Kenapa berubah? Berikut wawancara Wahyu Dyatmika dengan Aberson Marle Sihaloho, anggota DPR/MPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
Aberson adalah politisi senior. Tumbuh menjadi kader Partai Nasional Indonesia, yang didirikan Soekarno pada 1920-an, Aberson melanjutkan karir poltiknya di Partai Demokrasi Indonesia, setelah PNI dilebur dengan partai politik lain di era Orde Baru. Saat rezim Orde Baru memotori DPP PDI tandingan pimpinan Soerjadi, lewat kongres di Medan, Mei 1996, Aberson setia pada Megawati. Ia sempat ditahan dan diadili akibat kerusuhan 27 Juli 1996. Kini, Aberson lebih banyak berkecimpung di parlemen.
Proses amandemen masih alot, juga memicu kontroversi. Di jajaran PDI Perjuangan juga terjadi pertentangan tajam. Apa pendapat Anda?
Program utama pemerintahan Megawati saat ini adalah mengantar bangsa ini menuju Pemilu 2004. Di sinilah kendala pemerintah. Ini terkait keputusan pemilihan langsung. Kalau pemerintah tidak menerima pemilihan langsung –seperti sudah diketok MPR dalam pasal 6A ayat 1 UUD 45— maka akan terjadi instabilitas politik serius. Beberapa kelompok juga sudah ramai bersuara untuk membatalkan saja proses amandemen.
Suara-suara di PDIP?
Sesuai keputusan kongres tahun 2000 di Semarang, PDIP menolak model pemilihan langsung. Tetapi, apa yang terjadi? Pasal ini malah gol dalam Sidang Tahunan MPR setahun silam. Pasal itu berbunyi "Presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dipilih langsung oleh rakyat." Inilah yang mau dibatalkan itu. Jadi ribut-ribut menentang amandemen, sebenarnya bermuara ke pasal ini. Inilah yang mereka incar. Menurut saya, PDIP sudah teledor. Kalau sikap resmi partai menolak, kenapa bisa lolos? PDIP –mau tidak mau— harus menyesuaikan dengan hasil amandemen konstitusi. Toh amandemen ini telah disetujui PDIP. Tarik menarik ini sangat mungkin menimbulkan instabilitas politik. Kredibilitas partai juga bisa jatuh.
Keputusan Kongres PDIP bisa disesuaikan begitu saja?
Seharusnya bisa. Bagaimanapun, keputusan tertinggi di tangan MPR.
Bisa dikatakan, PDIP kecolongan?
Tidak! Amandemen ketiga diputuskan MPR secara aklamasi. Saya secara pribadi setuju keputusan itu, maka saya diam saja, meski bertentangan dengan keputusan partai. Kalau sekarang ada upaya membatalkan, maka semakin besar potensi instabilitas itu.
Anda punya prediksi terburuk?
Saya memperkirakan dalam Sidang Tahunan MPR, Agustus mendatang, akan ada eskalasi instabilitas politik nasional.
Bagaimana bisa terjadi Fraksi PDIP tidak mengamankan hasil kongres?
Sebenarnya, mayoritas anggota PDIP di MPR setuju pemilihan langsung meski secara formal PDIP menolak. Kenapa bagitu? Karena keputusan kongres bisa direkayasa. Tapi kalau keputusan individu sesuai hati nurani, susah direkayasa.
Apa kebijakan PDIP untuk mengatasi kesenjangan itu?
Ah…itu urusan DPP PDIP sajalah. Urusan para pemimpin itulah. Saya tak mau ikut. Tapi, memang terjadi kesenjangan. Penyebabnya, proses pengambilan keputusan di kongres, tidak demokratis. Seingat saya, saat itu ada 174 cabang yang menginginkan pemilihan presiden langsung. Bahkan sekarang juga. Kalau mau referendum –meski menurut saya tidak perlu— coba rakyat ditanya: mau pemilihan langsung atau tidak? Saya jamin mayoritas rakyat menghendaki pemilihan langsung.
Mungkinkah mengubah hasil amandemen untuk pasal pemilihan ptresiden itu, misal lewat gerakan politik ekstra-parlementer?
Ini kan sudah ketok palu! Pasal 6A ayat 1 kan sudah diputuskan. Kalau hasil amandemen dipermasalahkan lagi, aneh kan? Padahal kemarin, tidak ada satu fraksi pun yang menentang. Karena memang, semua anggota MPR setuju pemilihan langsung. Amandemen MPR sudah sesuai aspirasi rakyat! Yang jadi masalah kan karena ini mau dibatalkan lagi! Dituduh kebablasanlah, apalah! Beri tahu rakyat: kebabalasannya dimana? Suara rakyat yang diwakili lembaga, sekarang dikembalikan lagi pada rakyat, bisa disebut kebablasan?
Mengapa sejumlah suara di PDIP menolak?
Sederhana. Mereka takut tidak terpilih! Itu saja. Karena kalau pemilihan langsung, ini sudah masalah orang per orang, bukan lagi masalah partai. Jangan salah! Ndhak bisa lagi main rekayasa.
Amandemen ketiga juga sudah mengatur pemilu 2004 tidak lagi memilih tanda gambar parpol, melainkan nama calon anggota parlemen?
Inilah yang mau dibuyarkan! Pemilu 2004, masyarakat memang akan menusuk tanda nama orang yang tertera pada tanda gambar partai. Ini ndhak bisa direkayasa. Jadi kalau partai tidak mengajukan nama-nama calon wakil rakyat yang kredibel dan laku dijual, pasti akan kalah.
Pendapat Anda soal hak pilih untuk tentara dan polisi?
Kita sudah lama terjebak dalam paradigma keliru. Saya tegaskan, tidak ada tentara dan polisi yang bukan warga negara! Tidak ada hubungan antara dia sebagai tentara, atau apapun profesinya, dengan hak dia sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Kalau pun dia dipilih, dia harus berhenti jadi tentara.
Ada ketakutan TNI akan balik ke panggung politik?
Justru d isitulah yang keliru! Tentara itu kan institusi, apa urusannya? Ini hak warga negara kok! Bukan hak institusi.
Kalau itu dipakai elit militer sebagai pintu masuk menguasai politik?
Bagaimana bisa jadi pintu masuk, wong kalau jadi calon legislatif, dia harus berhenti! Malah saya mengusulkan –sebagai bukti dia benar-benar seorang warga negara yang setia pada negaranya— setiap calon harus membayar pajak dulu.
Anda tidak takut jajaran TNI dan Polri terpecah-pecah dalam garis ideologi akibat perbedaan aspirasi politik?
Saya tidak pernah takut! Hanya orang yang nggak ngerti persoalan saja yang merasa takut! Wong bukan tentaranya kok yang ikut memilih! Sama dengan pegawai negeri sipil.
Kembali ke soal pemilihan presiden langsung. Ada kekhawatiran terjadi konflik horizonta. Pendapat Anda?
Konflik tidak akan terjadi. Itu kan terjadi ketika dulu para tentara dan polisi masih diberi jatah-jatah wilayah. Tapi sekarang, yang berdaulat itu rakyat!
Perubahan apa yang Anda bayangkan setelah Pemilu langsung?
Seperti Mbak Mega, misal dipilih 35,7 juta rakyat. Dia sudah jadi superwoman. Juga, anggota DPR dipilih langsung oleh 300-400 ribu orang. Kita pun bukan orang sembarangan. Itu sebabnya anggota parlemen dihormati, disebut honourable member of parliament.
Menurut Anda, siapa saja yang menentang amandemen?
Antara lain PPP. Pokoknya semua yang membawa-bawa nama rakyat, yang selama ini menikmati sistem, akan menentang amandemen.
0comments:
Post a Comment
Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan.
Untuk membalas komentar ke Nama/ Id tertentu, silahkan tambahkan "@" sebelum Nama atau ID komentar yang ingin dibalas/ reply
contoh: @name atau @5867483356795408780.0
Isi Komentar/ Reply
ps:
- Untuk mengetahui ID komentar yang ingin di reply silahkan klik [Comment ID]
- Berkomentarlah dengan tutur kata yang sopan, adalah hal yang manusiawi untuk berbeda pendapat