Pria yang lugas dan sabar ini menggumuli banyak profesi. Mulai dari dosen, advokat, politisi, pemimpin surat kabar, aktivis HAM dan kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Konstitusi. Dalam aneka profesi dan bidang tugas itu, ia selalu memberikan kontribusi yang berguna laksana garam, yang memberi rasa dan mengawetkan (mencegah kebusukan) tanpa menonjolkan sosok dirinya. Ia seorang profesional yang tak mengenal batas lingkup pengabdian. Di lembaga Mahkamah Konstitusi yang baru dibentuk tahun 2003, mantan anggota MPR/DPR, ini bersama rekan-rekannya bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejak 5 November 2003, Komisi Konstitusi ini menerima masukan atau aspirasi masyarakat melalui email ataupun surat.
Pria cerdas yang sederhana ini lahir di Bandung, Jawa Barat, 25 Maret 1939. Ia menamatkan pendidikan dasar hingga SLTA di Jakarta. Selanjutnya Albert melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) tamat tahun 1966. Dari sana, Albert menjadi pengacara/advokat. Ia eksponen Angkatan '66 yang turut berjuang mengganyang PKI dan menumbangkan Orde Lama. Sebenarnya, waktu kecil, orang Batak yang lahir di Bandung dan besar di Jakarta ini bercita-cita menjadi penerbang. Tetapi, ibu dan ayahnya menganggap profesi penerbang itu berbahaya. Akhirnya, ia memang beralih ke bidang hukum. Minatnya pada ilmu hukum dimulai saat ia duduk di SMA dan ketika mendapatkan pelajaran tata hukum. "Ilmu hukum berhubungan dengan aturan dan yang harus diatur, agar tercipta ketertiban. Ini menarik dipelajari,'' ujar sulung dari tiga bersaudara itu.
Begitu tamat dari FH UKI, ia mengajar di almamaternya, UKI. Tahun 1968, bekas komandan Yon Yani Laskar Ampera Arief Rachman Hakim ini membuka Biro Bantuan Hukum bersama beberapa kawannya. Pada 1971, bersama Adnan Buyung Nasution, ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Saat itu, Buyung yang menjadi Ketua, sementara Albert sekretaris. Tapi kemudian, ia mendirikan kantor pengacara sendiri di Jakarta Pusat. Tahun 1972 ia menjadi anggota MPR. Kemudian, pada 1977, ia menjadi anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan dan terus terpilih hingga empat periode berturut-turut. Namanya sebagai pengacara/advokat kemudian melambung. Ia juga menangani kasus-kasus yang masuk dalam kategori besar dan kontroversial. Ia pernah menjadi pembela Rewang, tokoh PKI, dan Oei Tjoe Tat, seorang menteri masa Soekarno yang diseret ke pengadilan. Soal itu, Albert berkomentar bahwa warna politik dan latar belakang terdakwa tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mendampinginya di pengadilan. Siapa pun yang menjadi terdakwa, seorang pengacara dan ahli hukum harus menerapkan praduga tidak bersalah.
Namanya makin melesat ketika menangani kasus Sengkon dan Karta, yang masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara karena dituduh membunuh Sulaiman dan istrinya di Desa Bojongsari, Bekasi, 1974. Tuduhan, kemudian, ternyata melenceng. Didampingi oleh Albert, Sengkon dan Karta mengajukan peninjauan kembali perkara (herziening), dan Mahkamah Agung menyetujuinya. Yang disesalkannya, gugatan ganti rugi Sengkon dan Karta kepada (Departemen Kehakiman) ditolak. Selain itu, Albert juga pernah menjadi kordinator pengacara Pertamina yang bersengketa dengan keluarga Ahmad Tahir, untuk mengembalikan hasil korupsi Tahir. Dalam persidangan yang dilakukan di Singapore itu, Pertamina memenangkan sengketa itu. Memang soal peradilan itu, sempat membuat ia deg-degan. Sampai-sampai malam menjelang diputuskan hasil persidangan itu, Albert tidak bisa tidur.
Pada 1992, Albert meraih gelar doktor ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada. Ia berhasil mempertahankan disertasinya berjudul "Pelaksanaan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode Tahun 1977-1982" dengan predikat sangat memuaskan. Ia merupakan doktor ke-194 yang dihasilkan UGM pada waktu itu. Setelah itu, kelihatannya, mantan anggota DPR dari FKP itu makin mantap di dunia politik. ''Kita bisa berbuat lebih banyak di bidang politik ketimbang hukum,'' ujar ayah tiga anak yang suka jogging dan tenis ini.
Dan memang, kemudian Albert lebih banyak aktif di politik, ketimbang menjadi pengacara/advokad. Belakangan, ia pun dikenal sebagai salah seorang pembela HAM, terutama setelah diangkat menjadi anggota Komnas HAM. Pada 22 September 1999, dibentuk KPP HAM - Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM untuk Timor Timur -- komisi yang dibentuk Komnas HAM untuk mengusut masalah pelanggaran HAM di Timor Timur pra dan paska jajak pendapat dimana Albert menjadi ketuanya. Lembaga yang dimotori Albert itu berani memanggil dan memeriksa sejumlah petinggi militer di negeri ini, termasuk mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto dalam kaitan dengan pelanggaran HAM di Timor Timur.
Munculnya KPP HAM juga menimbulkan banyak protes. Misalnya, ketika KPP HAM mengumumkan nama-nama orang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur, beberapa pihak, termasuk TNI, ada yang menunjukkan rasa tidak senang. Mereka menganggap KPP HAM terlalu cepat mengumumkan temuannya tanpa didukung bukti-bukti yang lengkap.
Pria cerdas yang sederhana ini lahir di Bandung, Jawa Barat, 25 Maret 1939. Ia menamatkan pendidikan dasar hingga SLTA di Jakarta. Selanjutnya Albert melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) tamat tahun 1966. Dari sana, Albert menjadi pengacara/advokat. Ia eksponen Angkatan '66 yang turut berjuang mengganyang PKI dan menumbangkan Orde Lama. Sebenarnya, waktu kecil, orang Batak yang lahir di Bandung dan besar di Jakarta ini bercita-cita menjadi penerbang. Tetapi, ibu dan ayahnya menganggap profesi penerbang itu berbahaya. Akhirnya, ia memang beralih ke bidang hukum. Minatnya pada ilmu hukum dimulai saat ia duduk di SMA dan ketika mendapatkan pelajaran tata hukum. "Ilmu hukum berhubungan dengan aturan dan yang harus diatur, agar tercipta ketertiban. Ini menarik dipelajari,'' ujar sulung dari tiga bersaudara itu.
Begitu tamat dari FH UKI, ia mengajar di almamaternya, UKI. Tahun 1968, bekas komandan Yon Yani Laskar Ampera Arief Rachman Hakim ini membuka Biro Bantuan Hukum bersama beberapa kawannya. Pada 1971, bersama Adnan Buyung Nasution, ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Saat itu, Buyung yang menjadi Ketua, sementara Albert sekretaris. Tapi kemudian, ia mendirikan kantor pengacara sendiri di Jakarta Pusat. Tahun 1972 ia menjadi anggota MPR. Kemudian, pada 1977, ia menjadi anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan dan terus terpilih hingga empat periode berturut-turut. Namanya sebagai pengacara/advokat kemudian melambung. Ia juga menangani kasus-kasus yang masuk dalam kategori besar dan kontroversial. Ia pernah menjadi pembela Rewang, tokoh PKI, dan Oei Tjoe Tat, seorang menteri masa Soekarno yang diseret ke pengadilan. Soal itu, Albert berkomentar bahwa warna politik dan latar belakang terdakwa tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mendampinginya di pengadilan. Siapa pun yang menjadi terdakwa, seorang pengacara dan ahli hukum harus menerapkan praduga tidak bersalah.
Namanya makin melesat ketika menangani kasus Sengkon dan Karta, yang masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara karena dituduh membunuh Sulaiman dan istrinya di Desa Bojongsari, Bekasi, 1974. Tuduhan, kemudian, ternyata melenceng. Didampingi oleh Albert, Sengkon dan Karta mengajukan peninjauan kembali perkara (herziening), dan Mahkamah Agung menyetujuinya. Yang disesalkannya, gugatan ganti rugi Sengkon dan Karta kepada (Departemen Kehakiman) ditolak. Selain itu, Albert juga pernah menjadi kordinator pengacara Pertamina yang bersengketa dengan keluarga Ahmad Tahir, untuk mengembalikan hasil korupsi Tahir. Dalam persidangan yang dilakukan di Singapore itu, Pertamina memenangkan sengketa itu. Memang soal peradilan itu, sempat membuat ia deg-degan. Sampai-sampai malam menjelang diputuskan hasil persidangan itu, Albert tidak bisa tidur.
Pada 1992, Albert meraih gelar doktor ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada. Ia berhasil mempertahankan disertasinya berjudul "Pelaksanaan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode Tahun 1977-1982" dengan predikat sangat memuaskan. Ia merupakan doktor ke-194 yang dihasilkan UGM pada waktu itu. Setelah itu, kelihatannya, mantan anggota DPR dari FKP itu makin mantap di dunia politik. ''Kita bisa berbuat lebih banyak di bidang politik ketimbang hukum,'' ujar ayah tiga anak yang suka jogging dan tenis ini.
Dan memang, kemudian Albert lebih banyak aktif di politik, ketimbang menjadi pengacara/advokad. Belakangan, ia pun dikenal sebagai salah seorang pembela HAM, terutama setelah diangkat menjadi anggota Komnas HAM. Pada 22 September 1999, dibentuk KPP HAM - Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM untuk Timor Timur -- komisi yang dibentuk Komnas HAM untuk mengusut masalah pelanggaran HAM di Timor Timur pra dan paska jajak pendapat dimana Albert menjadi ketuanya. Lembaga yang dimotori Albert itu berani memanggil dan memeriksa sejumlah petinggi militer di negeri ini, termasuk mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto dalam kaitan dengan pelanggaran HAM di Timor Timur.
Munculnya KPP HAM juga menimbulkan banyak protes. Misalnya, ketika KPP HAM mengumumkan nama-nama orang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur, beberapa pihak, termasuk TNI, ada yang menunjukkan rasa tidak senang. Mereka menganggap KPP HAM terlalu cepat mengumumkan temuannya tanpa didukung bukti-bukti yang lengkap.
0comments:
Post a Comment
Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan.
Untuk membalas komentar ke Nama/ Id tertentu, silahkan tambahkan "@" sebelum Nama atau ID komentar yang ingin dibalas/ reply
contoh: @name atau @5867483356795408780.0
Isi Komentar/ Reply
ps:
- Untuk mengetahui ID komentar yang ingin di reply silahkan klik [Comment ID]
- Berkomentarlah dengan tutur kata yang sopan, adalah hal yang manusiawi untuk berbeda pendapat