Ia memang berbekal jam terbang tinggi dan sederet penghargaan di seni peran. Selain gelar dari FFAP di atas, Manik juga pernah megantungi Piala Citra untuk Pemeran Pembantu Terbaik lewat film November 1828 (1979) juga untuk Pemeran Utama Pria dalam film Fatimah Budak Nafsu (1984). Namun, Manik tidak mengandalkan masa lalu. Dia sadar benar telah terjadi pergeseran nilai-nilai dalam industri hiburan. Jika kini orang begitu mudah dan cepat menjadi aktor, itu pun dipahaminya betul. Ia juga mengerti jika ada artis yang wajahnya muncul di berbagai judul sinetron dalam semalam. Baginya itu sah-sah saja karena menyangkut penghidupan.
"Itu wajar-wajar saja sekarang. Saya sadar betul saya masuk ke dunia mana. Saya tidak takut disaingi karena yakin saya mampu. Meski demikian, saya tidak akan ngoyo. Mungkin itulah mengapa saya bertahan sampai sekarang," kata Manik yang ditemui di sebuah kafe di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Untuk bertahan hidup, Manik pernah mencoba usaha, seperti bisnis mebel atau bertani. Akan tetapi, usaha tersebut tidak pernah berkelanjutan. Ia juga cukup lama menjadi wartawan di sejumlah media, seperti Aktuil (1978-1982), Variasi (1982-1984), harian Pelita (1985-1986), dan Vista (1988). Namun, muara profesinya tetap di seni peran. Sejumlah sinetron yang dibintanginya antara lain, Pakaian dan Kepalsuan, Abad 21, Warisan, Dua Pilar, Terpesona, dan Senandung.
Belakangan, Manik menjadi sutradara. Ia mulai dengan menyutradarai film televisi Pacar Dunia Akhirat pada tahun 1996. Kemudian pada tahun 1998 ia menggarap sinetron Panggung Sandiwara. Terakhir, Manik menyelesaikan sinetron Shakila, dan kini ia tengah menyiapkan mini seri.
Ia mengaku serius sebagai aktor maupun sutradara. Hanya saja, sebagai aktor, ia merasa ada masa titik jenuh. Salah satunya karena peran yang stereotip, misalnya, sebagai bapak. Sedangkan bidang penyutradaraan memang menjadi salah satu obsesi. Manik tergoda untuk menjadi sutradara setelah "dipaksa" temannya bernama Imam Tantowi, sutradara yang pernah menggarapnya di beberapa film. "Tantowi bilang, 'Anggap saja belajar'. Saya lalu tertantang, dan jika terbukti mampu, saya akan teruskan. Namun, jika tidak saya akan berhenti. Rupanya, karya saya Panggung Sandiwara menang di Bandung dan itu memberi dorongan pada saya."
Manik sebagai sutradara mempunyai formula sederhana dalam membuat tontonan. Ia hanya ingin membuat karya yang komunikatif dan bisa ditonton orang banyak, dan bukannya film dalam koridor seni untuk seni. "Saya heran, kenapa film yang dikatakan bagus itu malah cenderung tak bisa dimengerti masyarakat. Kenapa tidak dibuat film yang sederhana tapi komunikatif, seperti film Iran, Children of Heaven itu. Saya ingin buat film seperti itu," katanya masuk akal.
Manik menyadari industri hiburan di televisi saat ini memang masih didominasi tontonan dengan tema cinta, perselingkuhan. Cerita seperti itu menurut Manik telah terpola sejak "rezim lama" karena pembuat film enggan menyuguhkan karya yang kritis. "Saya berharap kini ada pergeseran, dan tumbuh sineas muda yang membawa tema-tema baru."
0comments:
Post a Comment
Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan.
Untuk membalas komentar ke Nama/ Id tertentu, silahkan tambahkan "@" sebelum Nama atau ID komentar yang ingin dibalas/ reply
contoh: @name atau @5867483356795408780.0
Isi Komentar/ Reply
ps:
- Untuk mengetahui ID komentar yang ingin di reply silahkan klik [Comment ID]
- Berkomentarlah dengan tutur kata yang sopan, adalah hal yang manusiawi untuk berbeda pendapat