Advokat kawakan yang juga makan asam garam dalam pentas politik ini, pernah duduk di kursi DPR dari Golongan Karya. Tapi ia mengalami psikosomatik dan konflik batin yang dahsyat. Maka ketika Megawati Soekarnoputri ditindas dan berani tampil melawan, ia pun bersedia memimpin Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) tanpa pamrih. Kendati ia sendiri tidak bersimpati kepada PDIP. Lalu, Sang Pembela Demokrasi ini mendirikan Partai Pilihan Rakyat (ikut Pemilu 1999). Kemudian, karena persyaratan electoral treshold 2%, ia mendeklarasikan Partai Kemerdekaan untuk ikut Pemilu 2004 demi mewujudkan obsesinya membela kepentingan rakyat tanpa determinasi agama, suku dan golongan. Ia menyatakan Partai Kemerdekaan tidak akan pernah menjual janji. "Yang kami inginkan adalah menjadikan partai ini sebagai partai pembela rakyat," katanya. "Artinya, ketika rakyat menderita, kita harus berani membelanya, sehingga partai ini mau terus berada di barisan rakyat dan memperjuangkan apa yang mereka tuntut sekarang ini."
Ia juga tidak mau berjanji, apa yang ia janjikan pasti terjadi. Tetapi minimum ia tidak mau membohongi rakyat dan tidak akan meninggalkan rakyat. Sebab, banyak yang sudah menduduki jabatan meninggalkan rakyat sehingga tidak heran ada gap antara rakyat dengan pemimpin. Ia yakin dengan strategi yang seperti itu, rakyat akan terpanggil untuk mengerti apa yang ia maksud. Saya tidak pernah mengecap jabatan apapun, sehingga sekarang saya dapat berani mengatakan kalau saya tidak pernah mengkhianati rakyat dan membohongi rakyat. Inilah modal yang kami sampaikan kepada rakyat, ujarnya.
Jadi, dengan berbagai kebohongan publik dan penderitaan di tengah-tengah rakyat, minimal kehadiran Partai Kemerdekaan masih bersih, belum cacat. Dengan demikian ada keyakinan baginya bahwa rakyat akan memilih partai yang belum memiliki dosa. Partai Kemerdekaan ini sebagai partai yang belum memiliki dosa. Apakah pernyataan ini hanya sebuah manuver politik, seperti lazimnya perangai beberapa politisi di negeri ini? Track record advokat yang politisi ini menjadi jawaban. Ketika tampil sebagai Ketua Tim Pembela Demokrasi yang beranggotakan 1.500 pengacara dan advokat, orang pun berspekulasi. Manuver politik apa gerangan yang akan diperankan RO Tambunan. Banyak pihak mereka-reka, kader Golkar ini bakal come back ke panggung politik dengan menumpang sampan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tapi, dugaan itu melenceng. Tambunan tidak ikut memperkuat barisan PDI Perjuangan ketika partai ini naik daun. Padahal dia juga tidak menerima bayaran ketika memimpin Tim Pembela Demokrasi Indonesia, yang ketika itu tampil di depan membela Megawati Soekarnoputri dan partainya dari tekanan pemerintah Orde Baru.
Ia malah mendirikan Partai Pilihan Rakyat pada tahun 1999. Kemudian mendeklarasikan Partai Kemerdekaan untuk ikut Pemilu 2004. Kenapa tidak masuk PDIP yang dibelanya ketika mendapat tekanan? Karena dia semata-mata bukan untuk membela kepentingan Mega dan partainya. Tapi, untuk membela kepentingan rakyat, bangsa dan negara, kepentingan demokrasi dan kepentingan hak asazi manusia yang tertindas. Yang dirampas adalah hak-hak rakyat untuk berpolitik untuk menentukan pilihan. Hak-hak rakyat untuk berserikat dan berkumpul, kata Tambunan. Menurutnya, Mega hanya salah satu korban dari penguasa otoriter. Ia memang seorang politisi yang memiliki garis politik yang jelas. Dia berada di dalam partai politik yang berasaskan nasionalisme, bukan berasaskan agama, kesukuan dan kelompok ras. Nama besar RO Tambunan telah terukir dalam dunia advokat dan politik. Ia pengacara kawakan yang selalu diperhitungkan. Ia juga seorang politisi yang mempunyai visi dan prinsip yang jelas. Putera bangsa kelahiran 24 Juli 1935 ini, pernah menjadi kader militan Golongan Karya, partai yang pernah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa. Sedikit-banyak, ia punya andil dalam membesarkan Sekretaris Bersama (Sekber) Golkar, yang kemudian menjadi Golkar pada tahun 1970-1971.
Namun di tengah militansi dan loyalitasnya kepada Golkar, dia tidak bisa menerima praktek licik yang dimainkan organisasi politik ini untuk memenangkan Pemilu. Dia sering berseberangan jalan dengan garis partai. Sampai akhirnya dia dicap sebagai orang yang membahayakan partai. Tapi, semua ini tak menghambat karirnya di panggung politik, dan profesinya sebagai pengacara. Karir politik anak bangsa kelahiran Sigorong, desa terpencil di Tapanuli Utara, sekitar 300 Km dari Medan, ini dirintisnya sejak berusia 18 tahun. Di usia yang relatif muda dia sudah terjun dalam kancah politik, menjadi Pengurus Nasional Gerakan Pemuda Sosialis yang berada di dalam Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sultan Syahrir. Di tahun 60-an, dia membawa organsisasi Gerakan Pemuda Sosialis ke dalam Sekber Golkar bergabung ke dalam koordinasi pemudanya. Pada waktu Sekber Golkar berkantor di Menteng 31 dipimpin Dr Sulastomo, dia menjadi sekretaris. Jerih payahnya tak sia-sia. Sebagai kader Golkar, ia dicalonkan menjadi anggota DPR, dan akhirnya menjadi anggota DPR dari wilayah pemilihan Kabupaten Bogor.
Namun, sejak dia masuk Golkar dan mengikuti kampanye Pemilu pertama 1971, sudah terjadi konflik batin dalam dirinya. Pasalnya, Tambunan tidak bisa menerima praktek yang dijalankan Golkar untuk memenangkan Pemilu. Dia menentang ketika Golkar melakukan sistem kampanye yang curang, tidak fair dengan mendapat backing dari tentara dan pemerintah daerah serta pusat. Pada saat itu, Golkar mengklaim satu-satunya yang dapat menyelamatkan Pancasila dan UUD 45 hanyalah Golkar. Sedangkan yang lain tidak bisa dipercaya. Jadi, kalau Golkar tidak menang, negara ini bisa hancur. Mereka berkata, oleh karena itu, dengan bagaimanapun dan dengan cara apapun, Golkar harus menang. Akibatnya terjadilah kecurangan. "Mulai dari lurah, camat, bupati, komandan Kodim, komandan Korem, semua ikut kampanye, semua ikut konsolidasi," kata Tambunan mengenang masa lalunya. Tidak sampai batas itu, kata Tambunan, kecurangan tersebut juga dirasakan rakyat dalam bentuk tekanan. Misalnya, ketika masa kampanye terdapat sepuluh partai yang ikut pemilu, jika ada salah satu partai yang sedang kampanye, pada saat yang bersamaan dan tempat yang hampir berdekatan, Golkar mengadakan kegiatan kerja bakti. Bagi masyarakat yang tidak ikut kerja bakti, namanya akan dicatat.
Dalam rapat-rapat kampanye, dia sudah mulai tidak disukai oleh kader dan fungsionaris Golkar, karena sikapnya yang kontroversial. Tambunan menginginkan Golkar menang dengan cara jujur dan fair. Sebaliknya Golkar menempuh jalan curang untuk meraih kemenangan. Ini yang bertentangan dengan hati nurani saya, ujarnya. Tetapi, sikapnya yang keras yang tak mentolerir adanya kecurangan, tak menghalanginya untuk maju menjadi anggota DPR di tahun 1971. Lalu, selama menjadi anggota DPR, di sinilah dia menyaksikan berbagai praktek kotor yang dilakukan pihak eksekutif dan legislatif. Sementara dia sebagai wakil rakyat, tak bisa berbuat apa-apa. Pada tahun pertama menjadi anggota legislatif, dia mengalami tekanan yang sangat berat. Kesehatannya terganggu, badannya menjadi kurus kering karena sakit-sakitan. Anehnya, dia tidak mengidap penyakit. Belakangan baru diketahui. Dokter yang memeriksanya mengatakan dia mengalami apa yang disebut psikosomatik, yaitu suatu perasaan berdosa dan bersalah. Pada waktu itu saya merasa bersalah kepada masyarakat, kata Tambunan. Sebab, sebagai wakil rakyat dia tidak bisa memperjuangkan kepentingan rakyat. Yang mereka perjuangkan adalah kepentingan diri, kelompok dan golongan.
Pertentangannya dengan fungsionaris Golkar semakin tajam, ketika Tambunan menarik garis merah. Dia mengambil sikap tegas tidak tunduk dengan garis Golkar, karena partai ini telah dijadikan alat untuk kepentingan penguasa. Yang ada dalam benak Tambunan adalah berjuang untuk kepentingan rakyat. Ketegasan sikapnya inilah yang selalu menyulut pertentangannya dengan suara mayoritas dalam rapat fraksi. Biasanya pertentangan itu diakhiri dengan ancaman recall. Sebaliknya dia juga menantang minta di-recall. Puncak pertentangannya dengan Golkar terjadi ketika kasus korupsi di Bulog terangkat ke permukaan. Diawali terkuaknya kasus korupsi Kepala Dolog Kalimantan Timur, Budi Adji. Ketika kasus ini terangkat, Tambunan duduk di Komisi III DPR yang menangani masalah hukum. Posisi ini cocok baginya, karena dia paling tidak suka dengan korupsi. Ini yang mendorongnya membentuk Tim Investigasi DPR untuk mengusut kasus tersebut. Pada saat yang bersamaan diadakan rapat dengan Kepala Bulog Bustamil Arifin. Kepada Bustanil, dia menjelaskan terjadinya korupsi di jajaran Bulog, dan dia memiliki bukti autentik. Bustanil menjawab enteng, "Saya akan menerima bukti-bukti saudara, dan kita dapat mengadakan pembicaraan empat mata. Rapat memberikan persetujuan pertemuan itu dilakukan. Pembicaraan berlangsung di kamar kerja Ketua Fraksi Golkar. Tambunan memberkan bukti-bukti korupsi. Selain itu dia juga menanyakan tentang rencana impor beras dari Burma, Thailand dengan nilai Rp 900 juta.
Entah apa sebabnya, Bustanil menanggapi laporan itu dengan nada emosi. Anda tidak mengerti. Korupsi di Bulog karena Golkar mengadakan kampanye dan kegiatan lainnya dengan meminta saya untuk menyediakan duit. Jadi, partai Anda sendiri yang membuat itu, kata Tambunan mengutip ucapan Bustanil. Waktu itu saya terkejut dan tersinggung sekali. Sebab, apa yang sedang saya berantas ternyata datang dari organisasi politik di mana saya ada yaitu Golkar, ujar Tambunan.Suatu ketika dia bertemu dengan Ketua Umum Golkar. Dia bertanya; Bagaimana hasil pembicaraan dengan Kepala Bulog?. Ah.. persetan. Ternyata Golkar yang melakukannya. Partai ini hidup dari hasil korupsi," jawab Tambunan ketus. Sejak itu konflik Tambunan dengan Golkar semakin tajam. Untungnya dia mendapat dukungan dari Ketua Fraksi, Drs Sumiskun, seorang yang jujur. Dialah yang menahan agar Tambunan tidak keluar dari partai, sampai berakhir masa bhaktinya tahun 1977.
Berseberangan
Selama lima tahun menjadi anggota DPR, dia pernah menjadi Ketua Tim Penyelidikan Penyelundupan Mobil-mobil Mewah dan memberantas para pejabat yang terlibat. Karena sepak-terjangnya yang bersebarangan, dia dipandang sebagai orang yang anti pemerintah dan Golkar. Ibarat pepatah klasik; “anjing menggongong, kafilah berlalu, Tambunan tak menghiraukan tudingan itu. Meskipun dia terlanjur dicap sebagai orang yang berseberangan dengan partai, pada Pemilu 1977, Golkar mencalonkannya kembali sebagai anggota DPR untuk wilayah Kalimantan Timur dengan urutan calon keempat. Ternyata perolehan suara di Kalimantan Timur anjlok, hanya mendapat tiga kursi. Ini yang membuatnya tidak duduk di legislatif, tapi duduk sebagai anggota MPR. Meskipun tak lagi duduk di DPR, dia tak berhenti mengeluarkan kritikan tajam terhadap kebijakan pemerintah yang dinilanya merugikan bangsa dan negara. Ketika terjadi pembahasan RUU KUHP di DPR, yang menurut Moejono SH, waktu itu sebagai Menteri Kehakiman, RUU itu sebagai karya agung, ternyata di sana-sini banyak bopengnya. Karena di dalam RUU itu tak tercantum produk hukum menyangkut hak azasi manusia (HAM).
Melihat ketimpangan ini, hati nuraninya terpanggil. Dia bersama Buyung Nasution spontan membentuk Komite Pembela Pancasila, untuk meluruskan adanya ketimpangan. Sebab, menurut penilaian Tambunan dan Buyung, RUU KUHP yang diajukan ke DPR adalah produk tipu muslihat dan harus dirombak. Tindak lanjut dari penolakan itu, Tambunan dan Buyung bersama pengacara lainnya menggelar aksi demo ke DPR. Yang jadi sasaran demo adalah Fraksi Golkar. Ketika Ketua Fraksi Golkar angkat bicara, tudingan langsung ditujukan kepada Tambunan. Katanya; “Fraksi Golkar tidak setuju jika saudara RO Tambunan yang notabene orang Golkar, tetapi menentang Golkar.” Tapi Tambunan merasa dirinya sebagai pengacara memiliki kewajiban untuk membela kebenaran. Ungkapan Ketua Fraksi Golkar, menurut penilaian Tambunan, mengindikasikan semakin mengkristalnya kebencian fungsionaris Golkar kepadanya. Padahal waktu itu ada upaya untuk mengangkat dia kembali menjadi anggota DPR, menggantikan anggota dewan yang dipromosikan menjadi Bupati Kabupaten Tanah Progo.
Tapi, karena sikapnya yang menentang RUU tersebut, kursi anggota DPR untuk Kaltim dibiarkan kosong selama empat tahun. "Tujuannya agar saya tidak masuk," ujar Tambunan. Menurutnya, inilah pertama kali dalam sejarah DPR di Indonesia, di mana jatah satu propinsi sengaja dikosongkan. Sementara menurut undang-undang dialah yang harus menggantikannya. “Saya dianggap orang yang berbahaya bagi Golkar, sehingga tidak memasukkan saya pada posisi tersebut,” katanya. Tak banyak type orang seperti dia. Meskipun dirinya dianiaya oleh partai di mana dia ikut membesarkan, dia tak pernah menuntut balik. Mungkin, kalau orang lain sudah meributkannya. “Bagi saya jika masalah pengangkatan tersebut menyangkut diri saya, jangan sampai disangkutpautkan dengan kepentingan pribadi. Bagi saya, perjuangan dapat dilakukan tanpa harus menjadi anggota DPR,” katanya. Akhirnya, ia memilih jalan sendiri. Setelah jabatannya sebagai anggota MPR berakhir tahun 1982, dia memutuskan keluar total dari Golkar. Diakuinya, ketika berada dalam struktur organisasi Golkar, sejak awal selalu terjadi konflik. Sebab, apa yang diperjuangkan Golkar bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan hukum, dan bertentangan dengan hati nurani masyarakat banyak.
Ketika dia ikut mendirikan Sekber Golkar bersama rekan-rekan lainnya, perjuangannya masih murni. Tujuan utamanya membentuk kekuatan politik dalam membendung pengaruh PKI. "Itu tujuan awal terbentuknya Sekber Golkar," kata Tambunan. Tapi, ketika berubah menjadi Golkar, di situlah mulainya kerusakan itu. Dia pun mulai tidak betah di dalam. "Dengan idelisme dan cita-cita yang murni, saya tetap berjuang dari dalam hingga ketika saya keluar dari Golkar," katanya.
Modal nekad
Nama besar yang disandangnya saat ini, baik kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Kemerdekaan, ataupun kapasitasnya sebagai pengacara kawakan, dirintisnya dengan perjuangan yang cukup panjang dan berliku. Ia lahir dari keluarga miskin di Sogorong, Kabupaten Tapanuli Utara. Dia menamatkan pendidikan SMP di Tarutung, ibukota kabupaten. Setelah lulus dari SMP, orang tuanya tak sanggup membiayai sekolah. Pada Januari 1954 dia memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Dia lari dari desa di mana dia dibesarkan. Modalnya nekad dan keberanian. Dengan menumpang Kapal Koanmaru, dia menginjakkan kakinya di pulau Jawa. Setelah menetap di pulau Jawa, dia tinggal di Bogor. Nasib baik, diterima bekerja sebagai petugas pos muda (klerek) di Kantor Pos Bogor. Dasar Tambunan yang tak mengenal menyerah, dia pun melanjutkan studinya ke SMA Kristen Samratulangi. "Jadi, pagi kerja, siang sekolah," katanya mengenang masa lalu. Setelah lulus SMA, dia pun mendaftar kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tapi tak pernah mengecap di bangku kuliah, karena yang dilakukannya sebatas mendaftar saja. Dia pun akhirnya terjebak dalam dunia politik.
Persisnya sekitar tahun 1956. Ketika dia keliling di sekitar Terminal Lapangan Banteng, perhatiannya tertuju kepada sebuah buku berjudul "Sejarah Perjuangan Pemuda" karangan Dr. Abu Hanifah. Buku yang banyak menceritakan perjuangan pemuda Indonesia, sehingga mereka menjadi tokoh yang berhasil, seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Di tempat terminal bus ini jugalah ia berkenalan dengan Sekjen PSI, Lindong Sitorus SH. Pertemuan itu berlanjut dengan pembicaraan yang panjang, sampai akhirnya membawanya ke panggung politik. Pada waktu itu, ia tak pernah absen dalam berbagai kegiatan PSI. Sampai akhirnya di tahun 1960, dia menikah dan tinggal di Bogor. Lalu, tahun 1967 dia menyelesaikan studinya dari Universitas Jayabaya. Ia pun menjadi pengacara. Selama karirnya di politik maupun sebagai pengacara, ia selalu membela kepentingan rakyat kecil. Sebab, sejak kecil dia telah melihat adanya ketidakadilan di sistem negara. Terjadi jurang pemisah yang sangat dalam antara yang miskin dan kaya. Hal inilah yang tidak bisa dibiarkan, ujarnya.
Menurutnya, jika melihat latarbelakang keluarganya yang miskin, tak pernah terbayangkan dia bisa hidup di ibukota dengan kondisi seperti sekarang. Kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan itulah menjadi modal dan semangat yang menjiwainya untuk melawan ketidakadilan. Keperpihakannya kepada masyarakat bawah, membantu masyarakat yang teraniaya, tertindas dan tersingkirkan, terdorong karena dia dilahirkan dalam keluarga yang miskin dan yang merasakan ketidakadilan. Jadi, kehidupannya selalu diarahkan untuk membantu orang yang miskin dan tertindas. "Itu sebabnya saya tidak bisa menjadi hakim, karena saya adalah orang yang mudah berpihak kepada yang lemah. Kalau jadi pengacara, cocoklah," ujarnya. Ia adalah anak berdarah Batak tulen. Lahir dan dibesarkan di tanah Batak. Namun, tanpa bermaksud menghilangkan rasa cinta tanah tumpah darah, suku dan agama Kristen yang dipeluknya, boleh dibilang 99 persen kehidupannya bersama suku dan kelompok lain. Itu yang membuat dia prihatin dengan banyaknya muncul kelompok-kelompok yang muncul hanya membela kepentingan kelompok agama, suku dan rasnya saja. "Saya tidak pernah merasa seperti orang Batak, tetapi saya adalah orang Indonesia. Dan saya tidak pernah merasa sebagai orang Kristen," tegas Tambunan.
Garis hidupnya adalah bagaimana membentuk sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang utuh. Tidak terkotak-kotak. Jika ada perbedaan harus dicari persamaan. Jangan oleh karena perbedaan kita menggunakan perbedaan sebagai alat perpecahan. Biarlah persamaan dalam perbedan yang ditonjolkan. Ironisnya, katanya, dalam kondisi negara seperti tercabik-cabik karena adanya perbedaan, tokoh-tokoh bangsa, apakah itu tokoh politik maupun tokoh agama, justru menonjolkan perbedaan. Saya pikir, jika bangsa ini ingin menjadi bangsa yang besar, harus mempuyai sikap menghargai perbedaan. Berani berkorban mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, katanya. Inilah yang perlu ditanamkan kepada seluruh lapisan bangsa. Ia memang mengaku diajarkan oleh ibunya bagaimana menghormati agama lain, golongan lain. Menghormati orang yang berbeda dengan kita, apakah berbeda agama, suku, ras dan apapun juga. Menurut dia, agama dapat berbeda, namun perbedaan itu tidak membuat permusuhan. Ini dipraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dia tak pernah mempersoalkan perbedaan agama dan suku. "Saya paling tidak suka jika ada pihak-pihak tertentu yang menjelek-jelekan agama dan suku," katanya.
Dalam menggerakkan roda partainya, ia juga menanamkan filosofi hidupnya. Sehingga sikap politiknya jelas. Dia hanya mau mau berada di dalam partai politik yang berasaskan nasionalisme, bukan berasaskan agama, kesukuan dan kelompok ras. Karena dia melihat, masalah agama dan latarbelakang seseorang adalah hak azasi manusia.
0comments:
Post a Comment
Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan.
Untuk membalas komentar ke Nama/ Id tertentu, silahkan tambahkan "@" sebelum Nama atau ID komentar yang ingin dibalas/ reply
contoh: @name atau @5867483356795408780.0
Isi Komentar/ Reply
ps:
- Untuk mengetahui ID komentar yang ingin di reply silahkan klik [Comment ID]
- Berkomentarlah dengan tutur kata yang sopan, adalah hal yang manusiawi untuk berbeda pendapat