Biasanya, orang jatuh cinta dulu, pacaran dulu, baru menikah. Tapi, buat dosen muda yang saat ini tengah menyelesaikan studi S3 pada Departement of Antropology & Sociology, Queensland University, Australia ini, rumus itu tak berlaku. Dosen Kriminologi UI yang wajahnya kerap muncul di media cetak dan televisi ini, menjalani kehidupan cintanya seperti layaknya anak muda kebanyakan. ''Adalah beberapa. Bukan pacar, teman dekat. Hunting (proses pencarian) jalan terus,'' ujarnya mengawali perjalanan cintanya. Kedekatannya dengan yang disebutnya beberapa teman dekat itu, ternyata harus ditinjau ulang. Dia harus mempertimbangkan beberapa persyaratan yang diajukan orangtuanya. ''Harus satu suku dan seiman,'' paparnya.
Mendapat teguran seperti itu, Adrianus tak lantas pusing.''Saya ingin menyenangkan orangtua, tapi saya juga nggak mau mengorbankan diri sendiri,'' akunya. Ibarat peneliti muda yang sedang melakukan riset, Adrianus malah merasa lebih bisa memfokuskan diri. Apalagi indikator yang diberikan orangtuanya sudah cukup jelas. Tapi, yang mana dan siapa wanita yang bakal dipilihnya, Adrianus bebas mencari sendiri. Proses pencarian pun dimulai. Siapa-siapa saja wanita yang bakal dipilihnya, Adrianus pun tak kesulitan. Data tentang para wanita itu sudah ada di tangannya. Tinggal melakukan pendekatan saja. Kalau beruntung, artinya dia cocok dan ceweknya juga mau, jadilah.
Celakanya, selama masa hunting, Adrianus banyak tidak beruntungnya. Ketika dia datang, cewek yang didatangi selalu tidak ada di rumah. Kalau pun ketemu, giliran Adrianus yang merasa nggak cocok. Ada saja hal-hal yang membuat pertemuan menjadi tidak asyik. Ketika mendapat referensi nama Rosari Ginting, Adrianus pun tak menyia-nyiakan kesempatan. ''Dia datang, bertemu saya, dan langsung pergi. Nggak ada duduk-duduk dulu, minum, apalagi ngobrol. Datang, ketemu, dan langsung pergi,'' cerita Sari. Keheranan Sari masih berlanjut. Seminggu kemudian, Sari menerima telepon dari Adrianus. ''Dia mengajak jalan. Saya takut dan mengajak teman,'' terang Sari. ''Dia ngajak jalan, tapi nggak tahu mau ke mana,'' tambah Sari.
Perjalanan tanpa kata-kata itu pun berlalu. ''Habis mengantar saya, dia langsung pergi,'' kata Sari. Seminggu kemudian, persisnya malam Minggu, Adrianus tiba-tiba muncul di rumah Sari. Tapi, Sari sedang tak di rumah. ''Habis dia nggak bilang-bilang dulu kalau mau datang,'' kata Sari. ''Buat saya, nothing to lose. Dia nggak ada di rumah, saya cari yang lain,'' kata Adrianus sambil tertawa keras. Istilahnya, ketemu syukur, nggak ketemu tidak apa-apa. Adrianus tak kecewa. Justru itu malah peluang buatnya untuk mencari gadis lain. Siapa tahu lebih cocok, lebih pas. Tapi, belakangan Adrianus manyadari, ada sesuatu yang lain yang dimiliki Sari, yang memaksanya mengunjungi setiap minggu. ''Dia itu rame, nyambung,'' kata Adrianus.
''Selain itu,'' lanjut Adrianus, ''Dia itu cuek, urakan. Sama dengan saya.'' Soal pandangan pun menurut Adrianus mereka sering sama. Dihitung-hitung, rupanya lebih banyak kesamaannya ketimbang perbedaan. ''Kalau faktor-faktor luarnya sudah sama, faktor dalamnya bisa belakangan,'' kata Adrianus. Makanya, sekalipun hubungan baru berjalan dua bulan, mereka nekad menikah. ''Kalau dibilang cinta, belum mendalam,'' tandas Adrianus. Suatu ketika Adrianus mengajak Sari ke Bogor, mengurus surat rumah yang sekarang ini mereka tempati. Dari Bogor, perjalanan berlanjut ke Taman Safari. Di Taman Safari itulah, Adrianus mengajak Sari tunangan. Sari menolak. ''Kalau tunangan, saya nggak janji. Tapi, kalau menikah saya mau,'' cerita Sari soal pinangan Adrianus. Rupanya ajakan tunangan itu cuma pancingan. Ditantang begitu, Adrianus oke saja. ''Soalnya, saya mau ke Inggris, sekolah,'' ujarnya. Itu pula barangkali yang membuat Sari menolak tunangan dan memilih menantang Adrianus menikah. ''Kalau cuma tunangan, saya nggak janji bakal masih menunggu dia,'' kilah Sari diplomatis.
Dua bulan setelah menikah (mereka menikah pada 16 Juli 1994), Adrianus terbang ke Inggris. ''Saya menjadi research - student pada Manchester University,'' katanya. Sari rupanya tak ditinggal sendirian. ''Saat ditinggal, saya sedang hamil muda,''ujar Sari. Di Inggris, Adrianus kerja keras menyelesaikan studi.''Saya nggak rindu sama sekali sama dia. Yang saya ingat malah Ibu saya,'' aku Adrianus. ''Padahal di sini saya ingat dia terus,'' timpal Sari. Selama Adrianus di Inggris, Sari tinggal di rumah orangtua Adrianus. Itu membuat Sari sedikit bisa "melupakan" suaminya. Bayi yang dikandungnya adalah cucu pertama bagi keluarga Adrianus. ''Perlakuan mereka terhadap saya luar biasa. Minta apa saja diberi. Saya jadi seperti ratu,'' ungkap Sari. Untung saja, suami yang dinanti tak berlama-lama di Inggris. Adrianus menyelesaikan studinya dalam tempo tujuh bulan. ''Saya masih bisa menemani dia melahirkan,'' ujar Adrianus.
Kelahiran putra pertama mereka, Pascalis, benar-benar meruntuhkan hati Adrianus. Dia baru benar-benar merasakan luapan cinta seorang istri yang telah melahirkan darah dagingnya. Cinta Adrianus melonjak dengan tajam. Mantan wartawan majalah berita mingguan itu amat menikmati kehidupan barunya sebagai ayah, juga sebagai suami. Babak baru kehidupan rumah tangga pun dimulai. Pasangan keluarga muda itu bahu membahu. Tak cuma dalam mengurus Pascal, tapi juga dalam menopang ekonomi keluarga. Beberapa kebiasaan yang selama ini dianggap Adrianus tak menjadi masalah, buat Sari ternyata masalah. Adrianus senang dengan pekerjaan yang terjadwal. Sementara urusan rumah tangga, urusan anak-anak, sering terjadi di luar jadual. ''Ada waktu-waktu saya membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ada waktunya saya membaca,'' tandas Adrianus. ''Makanya kalau sudah di depan buku, Abang cuek,'' timpal Sari.
Toleransi lantas menjadi hal penting. Adrianus pun paham, tidak mungkin terus menerus cuek atau menghindari keriuhan anak-anaknya. ''Saya baru serius membaca setelah mereka tidur,'' ujar Adrianus. Ketika Sari masih sibuk membantu menopang ekonomi keluarga, pada malam hari saat anaknya mengompol, sering sekali Adrianus menggantikan tugas Sari. Menggantikan popok Pascal. Saat tak ada pembantu, Adrianus tak segan-segan turun gunung. ''Menyapu, mengepel, cuci piring, apa saja yang bisa saya kerjakan, saya kerjakan,'' ujarnya. ''Apalagi waktu kami di Australia. Semuanya harus dikerjakan sendiri,'' tambahnya. ''Sejak semula, secara sosial kami banyak persamaan. Jadi begitu menikah, kalau pun beda, perbedaan itu tidak terlalu ekstrim,''papar Adrianus. ''Buat kami, kesetaraan gender itu sudah berlangsung lama,'' lanjut dosen yang men-spesialisasikan penelitian studi doktoralnya tentang polisi ini.
Tapi, begitu dihadapkan pada perkembangan psikologis dan sosial anak, kesetaraan gender tak lagi menjadi persoalan yang harus dipertahankan. Itu terjadi ketika Pascalis dan adiknya Cecilia, mulai belajar mengenal dunia dan semakin mampu melakukan interaksi sosial. Sari akhirnya mengalah dan berhenti bekerja. ''Dulu kedua anak saya kurus sekali. Begitu dipegang ibunya sendiri, gemuk. Itu 'kan indikator yang paling jelas,'' tegas Adrianus. ''Saya kadang jenuh juga di rumah. Tapi, Abang nggak kasih saya kerja,'' sahut Sari. Makanya, di saat senggang, Sari sibuk menjalani hobinya membuat kruistik. ''Dia 'kan sarjana. Saya pikir dia bakal suka ilmu, ternyata nggak tuh. Saya nggak habis pikir kok senang betul kruistik, sih ?'' lanjur Adrianus heran. Tapi, untunglah, perbedaan dan selisih paham itu tak membuat rumah tangga mereka runyam. Keduanya, terutama Sari, akhirnya bisa mengerti. Bahwa masa depan Pascalis dan Cecilia jauh lebih penting ketimbang memenangkan egonya menuntut untuk kembali bekerja seperti dulu. ''Abang bilang, kalau bekerja, ya yang bisa dikerjakan dari rumah,'' ujar Sari. Apalagi menurut Sari, gaya mendidik Adrianus terbilang keras. ''Sama Pascal, Abang lebih banyak berantemnya. Sama saya, Pascal menurut,'' lanjut Sari. Adrianus tentu saja punya alasan. ''Dia perlu role-model, peran ayah yang keras. Makanya sering dia saya ajak ke dunia saya,'' ujar Adrianus. ''Tapi, kalau pergi, Abang lebih kangen sama Cecilia. Saya tanya, sama saya kangen, nggak? Dia bilang, nggak tuh!'' lanjut Sari seraya tertawa. Ah, pasti si Abang bercanda.
"Hidup jalani saja apa adanya."
Mendapat teguran seperti itu, Adrianus tak lantas pusing.''Saya ingin menyenangkan orangtua, tapi saya juga nggak mau mengorbankan diri sendiri,'' akunya. Ibarat peneliti muda yang sedang melakukan riset, Adrianus malah merasa lebih bisa memfokuskan diri. Apalagi indikator yang diberikan orangtuanya sudah cukup jelas. Tapi, yang mana dan siapa wanita yang bakal dipilihnya, Adrianus bebas mencari sendiri. Proses pencarian pun dimulai. Siapa-siapa saja wanita yang bakal dipilihnya, Adrianus pun tak kesulitan. Data tentang para wanita itu sudah ada di tangannya. Tinggal melakukan pendekatan saja. Kalau beruntung, artinya dia cocok dan ceweknya juga mau, jadilah.
Celakanya, selama masa hunting, Adrianus banyak tidak beruntungnya. Ketika dia datang, cewek yang didatangi selalu tidak ada di rumah. Kalau pun ketemu, giliran Adrianus yang merasa nggak cocok. Ada saja hal-hal yang membuat pertemuan menjadi tidak asyik. Ketika mendapat referensi nama Rosari Ginting, Adrianus pun tak menyia-nyiakan kesempatan. ''Dia datang, bertemu saya, dan langsung pergi. Nggak ada duduk-duduk dulu, minum, apalagi ngobrol. Datang, ketemu, dan langsung pergi,'' cerita Sari. Keheranan Sari masih berlanjut. Seminggu kemudian, Sari menerima telepon dari Adrianus. ''Dia mengajak jalan. Saya takut dan mengajak teman,'' terang Sari. ''Dia ngajak jalan, tapi nggak tahu mau ke mana,'' tambah Sari.
Perjalanan tanpa kata-kata itu pun berlalu. ''Habis mengantar saya, dia langsung pergi,'' kata Sari. Seminggu kemudian, persisnya malam Minggu, Adrianus tiba-tiba muncul di rumah Sari. Tapi, Sari sedang tak di rumah. ''Habis dia nggak bilang-bilang dulu kalau mau datang,'' kata Sari. ''Buat saya, nothing to lose. Dia nggak ada di rumah, saya cari yang lain,'' kata Adrianus sambil tertawa keras. Istilahnya, ketemu syukur, nggak ketemu tidak apa-apa. Adrianus tak kecewa. Justru itu malah peluang buatnya untuk mencari gadis lain. Siapa tahu lebih cocok, lebih pas. Tapi, belakangan Adrianus manyadari, ada sesuatu yang lain yang dimiliki Sari, yang memaksanya mengunjungi setiap minggu. ''Dia itu rame, nyambung,'' kata Adrianus.
''Selain itu,'' lanjut Adrianus, ''Dia itu cuek, urakan. Sama dengan saya.'' Soal pandangan pun menurut Adrianus mereka sering sama. Dihitung-hitung, rupanya lebih banyak kesamaannya ketimbang perbedaan. ''Kalau faktor-faktor luarnya sudah sama, faktor dalamnya bisa belakangan,'' kata Adrianus. Makanya, sekalipun hubungan baru berjalan dua bulan, mereka nekad menikah. ''Kalau dibilang cinta, belum mendalam,'' tandas Adrianus. Suatu ketika Adrianus mengajak Sari ke Bogor, mengurus surat rumah yang sekarang ini mereka tempati. Dari Bogor, perjalanan berlanjut ke Taman Safari. Di Taman Safari itulah, Adrianus mengajak Sari tunangan. Sari menolak. ''Kalau tunangan, saya nggak janji. Tapi, kalau menikah saya mau,'' cerita Sari soal pinangan Adrianus. Rupanya ajakan tunangan itu cuma pancingan. Ditantang begitu, Adrianus oke saja. ''Soalnya, saya mau ke Inggris, sekolah,'' ujarnya. Itu pula barangkali yang membuat Sari menolak tunangan dan memilih menantang Adrianus menikah. ''Kalau cuma tunangan, saya nggak janji bakal masih menunggu dia,'' kilah Sari diplomatis.
Dua bulan setelah menikah (mereka menikah pada 16 Juli 1994), Adrianus terbang ke Inggris. ''Saya menjadi research - student pada Manchester University,'' katanya. Sari rupanya tak ditinggal sendirian. ''Saat ditinggal, saya sedang hamil muda,''ujar Sari. Di Inggris, Adrianus kerja keras menyelesaikan studi.''Saya nggak rindu sama sekali sama dia. Yang saya ingat malah Ibu saya,'' aku Adrianus. ''Padahal di sini saya ingat dia terus,'' timpal Sari. Selama Adrianus di Inggris, Sari tinggal di rumah orangtua Adrianus. Itu membuat Sari sedikit bisa "melupakan" suaminya. Bayi yang dikandungnya adalah cucu pertama bagi keluarga Adrianus. ''Perlakuan mereka terhadap saya luar biasa. Minta apa saja diberi. Saya jadi seperti ratu,'' ungkap Sari. Untung saja, suami yang dinanti tak berlama-lama di Inggris. Adrianus menyelesaikan studinya dalam tempo tujuh bulan. ''Saya masih bisa menemani dia melahirkan,'' ujar Adrianus.
Kelahiran putra pertama mereka, Pascalis, benar-benar meruntuhkan hati Adrianus. Dia baru benar-benar merasakan luapan cinta seorang istri yang telah melahirkan darah dagingnya. Cinta Adrianus melonjak dengan tajam. Mantan wartawan majalah berita mingguan itu amat menikmati kehidupan barunya sebagai ayah, juga sebagai suami. Babak baru kehidupan rumah tangga pun dimulai. Pasangan keluarga muda itu bahu membahu. Tak cuma dalam mengurus Pascal, tapi juga dalam menopang ekonomi keluarga. Beberapa kebiasaan yang selama ini dianggap Adrianus tak menjadi masalah, buat Sari ternyata masalah. Adrianus senang dengan pekerjaan yang terjadwal. Sementara urusan rumah tangga, urusan anak-anak, sering terjadi di luar jadual. ''Ada waktu-waktu saya membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ada waktunya saya membaca,'' tandas Adrianus. ''Makanya kalau sudah di depan buku, Abang cuek,'' timpal Sari.
Toleransi lantas menjadi hal penting. Adrianus pun paham, tidak mungkin terus menerus cuek atau menghindari keriuhan anak-anaknya. ''Saya baru serius membaca setelah mereka tidur,'' ujar Adrianus. Ketika Sari masih sibuk membantu menopang ekonomi keluarga, pada malam hari saat anaknya mengompol, sering sekali Adrianus menggantikan tugas Sari. Menggantikan popok Pascal. Saat tak ada pembantu, Adrianus tak segan-segan turun gunung. ''Menyapu, mengepel, cuci piring, apa saja yang bisa saya kerjakan, saya kerjakan,'' ujarnya. ''Apalagi waktu kami di Australia. Semuanya harus dikerjakan sendiri,'' tambahnya. ''Sejak semula, secara sosial kami banyak persamaan. Jadi begitu menikah, kalau pun beda, perbedaan itu tidak terlalu ekstrim,''papar Adrianus. ''Buat kami, kesetaraan gender itu sudah berlangsung lama,'' lanjut dosen yang men-spesialisasikan penelitian studi doktoralnya tentang polisi ini.
Tapi, begitu dihadapkan pada perkembangan psikologis dan sosial anak, kesetaraan gender tak lagi menjadi persoalan yang harus dipertahankan. Itu terjadi ketika Pascalis dan adiknya Cecilia, mulai belajar mengenal dunia dan semakin mampu melakukan interaksi sosial. Sari akhirnya mengalah dan berhenti bekerja. ''Dulu kedua anak saya kurus sekali. Begitu dipegang ibunya sendiri, gemuk. Itu 'kan indikator yang paling jelas,'' tegas Adrianus. ''Saya kadang jenuh juga di rumah. Tapi, Abang nggak kasih saya kerja,'' sahut Sari. Makanya, di saat senggang, Sari sibuk menjalani hobinya membuat kruistik. ''Dia 'kan sarjana. Saya pikir dia bakal suka ilmu, ternyata nggak tuh. Saya nggak habis pikir kok senang betul kruistik, sih ?'' lanjur Adrianus heran. Tapi, untunglah, perbedaan dan selisih paham itu tak membuat rumah tangga mereka runyam. Keduanya, terutama Sari, akhirnya bisa mengerti. Bahwa masa depan Pascalis dan Cecilia jauh lebih penting ketimbang memenangkan egonya menuntut untuk kembali bekerja seperti dulu. ''Abang bilang, kalau bekerja, ya yang bisa dikerjakan dari rumah,'' ujar Sari. Apalagi menurut Sari, gaya mendidik Adrianus terbilang keras. ''Sama Pascal, Abang lebih banyak berantemnya. Sama saya, Pascal menurut,'' lanjut Sari. Adrianus tentu saja punya alasan. ''Dia perlu role-model, peran ayah yang keras. Makanya sering dia saya ajak ke dunia saya,'' ujar Adrianus. ''Tapi, kalau pergi, Abang lebih kangen sama Cecilia. Saya tanya, sama saya kangen, nggak? Dia bilang, nggak tuh!'' lanjut Sari seraya tertawa. Ah, pasti si Abang bercanda.
"Hidup jalani saja apa adanya."
0comments:
Post a Comment
Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan.
Untuk membalas komentar ke Nama/ Id tertentu, silahkan tambahkan "@" sebelum Nama atau ID komentar yang ingin dibalas/ reply
contoh: @name atau @5867483356795408780.0
Isi Komentar/ Reply
ps:
- Untuk mengetahui ID komentar yang ingin di reply silahkan klik [Comment ID]
- Berkomentarlah dengan tutur kata yang sopan, adalah hal yang manusiawi untuk berbeda pendapat